Persatuan Tenis Seluruh Indonesia – Indonesian Tennis Association

Berkembang Mulai Tahun 1920-an

Seperti halnya beberapa cabang olahraga, seperti sepakbola, besar kemungkinan, orang Belandalah yang memperkenalkan tennis di Indonesia, walaupun tidak mustahil pula permainan ini dibawa para pelaut Inggris yang singgah di kota-kota besar Kepulauan Nusantara. Sejarah mencatat, orang Belanda sudah memainkan olahraga tenis sejak akhir abad ke-19 antara lain ditandai berdirinya sebuah klub tenis Surabaya (1895-1910).

Tennis mulai berkembang pada tahun-tahun 1920-an seiring kian banyaknya murid-murid Indonesia memasuki sekolah-sekolah menengah, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Mereka umumnya para siswa Stovia, Rechrsschool, dan NIAS yang pada perkembangannya memperkenalkan olah raga ini ke kalangan yang Iebih luas. Tennis pun mulai dimainkan atau dipertandingkan dalam kegiatan berbagai organisasi pemuda di masa itu. Olah raga inipun mulai dilihat sehagai penghimpun massa, terutama oleh kaum nasionalis yang mencita-citakan Kemerdekaan Indonesia.

Perkembangan Tenis Indonesia semakin pesat terlihat dari keikutsertaan tiga wakil pribumi pada semacam kejuaraan nasional yang diadakan oleh De Alegemeene Nederlandsche Lawn Tennis Bond (ANILTB) di Malang, Jawa Timur, akhir 1934, dan mereka mampu berjaya. Di partai tunggal putra, dua saudara Soemadi dan Samboedjo Hoerip maju babak final, yang pertandingan akhirnya dimenangkan oleh Samboedjo.

Yang lebih mengesankan adalah dua partai berikutnya, yang memperagakan keunggulan anak jajahan atas penjajahnya. Yang pertama, pasangan ganda putra Hoerip Bersaudara, yang menggilas pasangan Belanda, Bryan/Abendanon, 6-3, 6-4 di final. Juara ganda campuran juga diraih keluarga Hoerip, Samboedjo dan Soelastri, yang mendepak pasangan “penjajah” , Bryan/Nn. Schermbeek, 6-4, 6-2 sekaligus mencetak gelar pemegang juara turnamen ANILIB tiga kali beruntun, 1932-1934.

Lahirnya PELTI di Indonesia

Prestasi ini tak ayal mendorong Indonesia Moeda mengadakan Pekan olah raganya sendiri, yang berlangsung pada tiap hari ulang tahun atau pertemuan tahunannya. Tennis, tentu, termasuk di antaranya cabang-cabang yang dipertandingkan. Salah Satu di antaranya yang dilaksanakan pada Desember 1935 di Semarang yang juga sekaligus menjadi saat dicetuskannya pembentukan Persatuan Lawn Tennis Indonesia (PELTI).

Kejuaraan ini sendiri diprakarsai oleh dr. Hoerip yang diakui sebagai Bapak Tennis Indonesia. Menghimpun 70 petennis dari seluruh Jawa, kejuaraan ini dipantau dan mendapat perhatian serius dari pihak kolonial Belanda. Itu tercermin dari pemuatan peristiwa penting olahraga tennis tersebut dalam surat kabar De Locomotif 30 Desember 1935. dengan Judul yang kalau diterjemahkan berbunyi : “Kejuaraan Tennis Seluruh Jawa dari Persatuan Lawn Tennis Indonesia” . Namun, di pihak lain, ini juga berarti pengakuan pihak Belanda bahwa ANILTB telah mendapatkan saingannya.

Tanggal 26 Desember 1935 kemudian dicatat sebagai hari lahirnya PELTI
Gagasan pendirian PELTI sendiri, yang dikemukakan pada Kejuaraan Tennis di Semarang itu berasal dari Mr. Budiyanto Martoatmodjo. Tokoh tennis dari Jember – ia kemudian dianggap sebagai pencetak dasar utama pendirian organisasi PELTI. Ketika menguraikan azas dan tujuan pendiriannya ia mengatakan bahwa PELTI, sebagaimana organisasi kebangsaan lainnya, sama sekali “Tidak bersifat mengasingkan diri.” Maka PELTI akan selalu siap bekerja sama dengan persatuan tennis manapun dan apa saja, asal atas dasar saling menghargai.

Diungkapkan pula tujuan praktis utama PELTI adalah mengembangkan dan memajukan permainan lawn tennis di tanah air dan bagi bangsa sendiri. Dengan cara ini, Iebih jauh, diharapkan akan dicapai tali persaudaraan yang erat di antara segala perhimpunan dan pemain tennis bangsa Indonesia.

PELTI juga akan menyebarluaskan peraturan permainan, memberi keterangan dan bantuan dalam pembuatan lapangan tennis. Juga mengadakan dan mengatur serta menyumbang bagi terlaksananya pertandingan, di samping berusaha memasyarakatkan permainan tennis itu sendiri.

Gagasan pendirian PELTI mendapat dukungan yang memadai, khususnya di kalangan yang berani mengambil resiko berhadapan dengan pemerintah kolonial, termasuk dari kalangan yang terpandang. Di Semarang saja, para simpatisan semacam itu tidak sedikit jumahnya. Misalnya: Dr. Buntaran Martoatmodjo (yang kemudian, sejak 1935, menjadi ketua PELTI lima tahun berturut-turut), Dr. Rasjid, Dr. Mokhtar, Dr. Sardjito, R.M. Soeprapto, Nitiprodjo, dan beberapa lainnya.

Dari para tokoh berbagai kota Iainnya, dukungan diwakili oleh: Mr. Budhiyarto Martoatmodjo (Jember), R.M. Wazar (Bandung), Djajamihardja (Jakarta), Mr. Susanto Tirtoprojo (Surabaya), Mr. Soedja (Purwokerto), serta Mr. Oesman Sastroamidjojo, ahli olah raga tennis yang namanya terkenal di Eropa.

Pada umumnya, mereka memandang simpatik gagasan Dr. Hoerip, yang sebenarnya sudah dicetuskan sejak 1930, diilhami oleh berdirinya PSSI pada 30 April tahun itu. Tapi para tokoh tadi berbeda pendapat dalam beberapa hal, terutama mengenai saat yang tepat bagi pendirian induk organisasi tennis Itu.

Dari berbagai sikap yang lahir – revolusioner, moderat, plintat-plintut – akhirnya golongan tengahlah yang merupakan mayoritas. Pengalaman pahit saat-saat pendirian PSSI tampaknya menjadi cermin pembanding bagi para pelopor PELTI, hingga mereka memilih bersikap Iebih hati-hati menghadapi reaksi pemerintah Belanda – mereka tentunya tidak senang melihat setiap kegiatan yang bersifat mempersatukan kekuatan. Para pendiri PELTI tidak Ingin organisasi yang akan mereka dirikan mati dalam kandungan. Itulah sebabnya PELTI baru berdiri lima tahun kemudian, 1935.

Sumber: wordpress.com